Ganti Background Blog Ini!





Get Widget




Senin, 19 Oktober 2015

MAKALAH AIK VII "WASIAT"



Tugas Kelompok

AIK VII
WASIAT
 
              Di susun oleh : Kelompok II
                                    Saputra Handayani   10540 6521 11
                                    Sri Rahayu                 10540 6523 11
                                    Kasmawati                 10540 6526 11
                     Asrawati Asri             10540 6527 11
        KELAS : VII.D
            
JURUSAN PGSD S1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014

KATA PENGANTAR
          Syukur Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama kepada kami sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
         Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah AIK VII dengan judul “wasiat”
         Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami  sehingga dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca.
         Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya adanya kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan dari para pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan makalah ini.
        Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

                                                                                    Makassar,    November 2014

                                                                                                                 Penulis
                                                
  
DAFTAR ISI
   KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
   DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.  Latar Belakang............................................................................................. 1
B.  Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.  Tujuan........................................................................................................... 2
D.  Manfaat........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 3
A.  Pengertian wasiat........................................................................................ 3
B.  Dasar hukum wasiat..................................................................................... 3
C.  Kedudukan hukum wasiat........................................................................... 5
D.  Rukun wasiat............................................................................................... 7
E.   Syarat-syarat wasiat..................................................................................... 7
F.   Status barang................................................................................................ 7
G.  Kadar wasiat............................................................................................... 8
H.  Hikmah wasiat.............................................................................................. 8
I.     Pembatalan wasiat........................................................................................ 9
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 11
A.  Kesimpulan................................................................................................. 11
B.  Saran........................................................................................................... 11
   DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 12
          


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah keturunannya.
Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya. Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum) wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343).





B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat?
2.      Apakah dasar dan hukum wasiat?
3.      Apa saja rukun dan syarat wasiat?
4.      Bagaimanakah status barang dan ukuran wasiat?
5.      Apa sajakah hikmah wasiat?
6.      Hal-hal apa sajakah yang membatalkan wasiat?

C.    Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan pengertian wasiat
2.      Untuk menjelaskan dasar dan hukum wasiat
3.      Untuk menjelaskan rukun dan syarat wasiat
4.      Untuk menjelaskan status barang dan ukuran wasiat
5.      Untuk mendeskripsikan hikmah wasiat
6.      Untuk mendeskripsikan hal-hal apa sajakah yang membatalkan wasiat

D.    Manfaat
1.      Menambah wawasan kita terutama yang menyangkut dengan pengertian wasiat, dasar dan hukum wasiat, rukun dan syarat wasiat, status barang dan ukuran wasiat, dan  hikmah wasiat serta hal-hal yang membatalkan wasiat
2.      Sebagai bahan referensi bagi kita semua dalam meningkatkan pengetahuan kita mengenai wasiat



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wasiat
Kata “wasiat” artinya pesan yang di sampaikan oleh seseorang, artinya lafdhiyahnya adalah menyampaikan sesuatu. Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat itu, sesudah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Sebagian ahli hukum islam mendefinisikan  wasiat itu adalah pemberian hak milik secara suka rela yang dilaksanakan setelah si pemberinya wafat.
 Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Dari sini jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang diperoleh dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilkan yang diperoleh dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Ini dari satu segi; sedangkan dari segi lain, hibah itu berupa barang; sementara wasiat bisa berupa barang, piutang ataupun manfaat.
B.     Dasar Hukum Wasiat
Wasiat dilaksanakan dengan landasan hukum sebagai berikut:
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:     
1.      كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Al-Baqarah: 180)


2.      An- Nisaayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
 (Q.S. An-Nisa’: 11)
3.      Al- Maidah ayat 106:
4.      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآَثِمِينَ
ArtinyaHai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".

Hadis Rasulullah saw; yang artinya: “Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar r.a. dia berkata, “Rasulullah sawbersabda,hak bagi orang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak di wariskan, sesudah bermalam selama dua malam, tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikanya.” Ibnu Umar  berkata, “tidak berlalu bagi ku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah saw mengucapkan hadis itu, kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.”
Pengertiah hadis tersebut ialah wasiat itu dalam bentuk tertulis selalu berada di sisi orang yang berwasiat, sebab kemungkinan orang yang berwasiat itu meninggal dunia secara mendadak. Karena itu imam Syafi’i mengatakan, tidak ada kehati-hatian dan keteguhan bagi seorang muslim, melainkan bila wasiatnya itu tertulis dan berada di sisinya jika dia mempunyai sesuatu yang hendak di wasiatkan, sebab dia tidak tahu kapan ajalnya akan datang. Sebabnya jika dia meninggal dunia, sedang wasiatnya tidak tertulis dan tidak berada di sisinya kemungkinan besar wasiatnya itu tidak akan bisa terlaksana.
C.    Kedudukan Hukum Wasiat
Mengenai kedudukan hukum wasiat, ada yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak ataupun sedikit. Pendapat ini di katakan oleh Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Pendapat ini berpatokan pada Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 180 yang mewajibkan wasiat ketika seseorang menghadapi kematian.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayat itu wajib hukumnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta (pendapat pertama), dan bukan pula  kewajiban terhadap kedua orang tua  dan karib kerabat yang tidak mendapat harta warisan (pendapat kedua): tetapi wasiat itu hukumnya berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
-          Wasiat itu wajib dalam keadaan manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan di sia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan utang kepada Allah dan utang kepada sesama manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia mempunyai utang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang di persaksikan.
-          Wasiat itu di sunatkan jika diperuntukan kepada kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir, dan orang-orang saleh.
-          Wasiat itu diharamkan jika merugikan ahli waris. Misalnya, wasiat yang melebihi 1/3 harta warisan, apalagi menghabiskan harta waris. Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
-          Wasiat itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula, dimakruhkan wasiat kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau di duga dengan keras. Bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang berwasiat tahu atau menduga keras bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu untuk ketaatan, wasiat demikian menjadi sunat.
-          Wasiat itu di perbolehkan jika ditujukan untuk orang-orang yang kaya, baik orang yang di wasiati itu kerabat maupun orang yang jauh (bukan kerabat).
D.    Rukun wasiat
Rukun wasiat adalah sebagai berikut:
-          Ada pewasiat
-          Ada yang diberi wasiat atau penerima wasiat
-          Ada sesuatu yang di wasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu
-          Ada akad atau ijab kabul wasiat secara lisan atau tulisan.


E.     Syarat-syarat wasiat
Syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang memberi wasiat telah baliq, berakal, benar-benar hak atas harta benda yang akan di wasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak dalam keadaan pengaruh atau tekanan,
  2. Orang yang menerima wasiat masih hidup,
  3. Jika yang diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris;
  4. Wasiat dilaksanakan jika yang memberikannya meninggal dunia.
  5. Pernyataan yang jelas.
F.     Status barang
Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan demikian, sahlah wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang maupun manfaat. Sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan. Selama yang diwsiatkan itu ada wujudnya pada waktu orang yang mewasiatkan meninggal dunia, orang yang diberi wasiat berhak atasnya. Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada. Sah pula mewasiatkan piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan.
Tidak sah mewasiatkan bukan harta, sperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi orang yang mengadakan askad wasiat,  seperti khamar bagi kaum muslim.
Orang yang berwaiat biasanya ada yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia mempunyai ahli waris maka dia tidak boleh mewaistkan lebih dari 13 hartanya. Apabila dia mewasiatkan hartanya lebih sepertiga, maka wasiat itu tidak di laksanakan, kecuali atas izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di perlukan dua syarat sebagai berikut.
G.    Kadar Wasiat
Batas maksimal dalam memberikan wasiat adalah sepertiga dari harta peninggalan, tidak boleh melebihi kecuali apabila diizinkan oleh ahli warisnya sesudah meninggalnya orang yang berwasiat sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ
Artinya: “sesungguhnya Allah menganjurkan untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga harta pusaka kamu, ketika menjelang wafatnya, sebagai tambahan kebaikanmu  (H.R. Daruquthni)
H.    Hikmah Wasiat
·         Bagi yang berwasiat dengan mencari ridho Allah, maka allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda, dan memberikan berkah yang bermanfaat bagi penerima dan masyarakat sekitarnya.
·         Pemberi wasiat mendapat amal kebajikan yang banyak dari harta wasiatnya kepada orang lain selama harta wasiat itu dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.
·         Mentaati perintah Allah swt. Sebagaimana tertuang  dalam QS. Al-Baqarah :180
·         Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
·         Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.
I.       Pembatalan Wasiat
Ada bebrapa hal yang bisa menjadikan batalnya wasiat yang mana Kompulasi telah mengatur masalah ini cukup rinci, yaitu dalam pasal 197:
1.      wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap yang dihukum karena:
-          dipersalhkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada wasiat.
-          dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduhan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
-          dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
-          dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan wasiat itu.

2.      wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
-          tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
-          mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya.
-          mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya wasiat.
3.      wasiat bisa batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
Dalam rumusan fiqh, sayid sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat sebagai berikut:
-          jika pewasiat menderita gila hingga meninggal.
-          Jika penerima wasiat itu meninggal sebelum pewasiat meninggal.
-          Jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat.
v  Pencabutan Wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 kompilasi, yang berbunyi:
-          Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sudah menyatakan persetujuannya tapi kemudian menarik kembali.
-          Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaries bila wasiat dahulu dibuat secara llisan.
-          Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara trtulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan notaries.
-          Bila wasiat dibuat dengan akte notaries, maka hanya dapat dicabut dengan akte notaries.
-          Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat(pasal 203 ayat (2))

BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati
2.      Dasar hukum wasiat, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
3.      Rukun wasiat: Ada pewasiat, Ada yang diberi wasiat atau penerima wasiat, Ada sesuatu yang di wasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu, Ada akad atau ijab kabul wasiat secara lisan atau tulisan.
4.      Syarat wasiat: Orang yang memberi wasiat telah baliq, berakal, benar-benar hak atas harta benda yang akan di wasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak dalam keadaan pengaruh atau tekanan, Orang yang menerima wasiat masih hidup, Jika yang diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris, Wasiat dilaksanakan jika yang memberikannya meninggal dunia, Pernyataan yang jelas.
5.      Hikmah wasiat: Bagi yang berwasiat dengan mencari ridho Allah, maka allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda, dan memberikan berkah yang bermanfaat bagi penerima dan masyarakat sekitarnya, Pemberi wasiat mendapat amal kebajikan yang banyak dari harta wasiatnya kepada orang lain selama harta wasiat itu dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak, dan Mentaati perintah Allah swt.
B.     Saran
1.   Dalam pembagian wasiat, harus mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam al-qur’an.
2.   Dalam pembagian wasiat, sebaiknya dilakukan musyawarah sebelumnya agar tidak terjadi perselisihan antara anggota keluarga.


`DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad , KELUARGA SAKINAH, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1995.

M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, cet. 6, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1996.

Pasribu, Chairuman dan Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1994.

Saebani, Beni Ahmad dan Falah, Syamsul, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung, CV Pustaka Setia, 2011.

Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1994.

Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Islam, Surabaya, PT, Bina Ilmu, 1995