Tugas Individu
AIK II
“Akal Dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam”
Di susun oleh :
Nama : Asrawati Asri
Nim : 10540 6527 11
No.Urut : 14
Kelas : II.D
Dosen Pembimbing : Ainun
Jariah, S.Ag, MA.
JURUSAN PGSD S1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama kepada Saya sehingga
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan bagi kita dalam proses belajar terutama pada mata kuliah
“AIK II” terkhususnya yang
berhubungan dengan “Akal dan wahyu dalam pemikiran islam”
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun
secara sistematis dan berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari
dan dipahami sehingga dapat menambah
wawasan pemikiran para pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, Saya menyadari sepenuhnya
adanya kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun Saya harapkan dari para
pembaca agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, 23
Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang............................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan.......................................................................................................... 2
D.
Manfaat....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
A.
Pengertian Akal dan wahyu.......................................................................
3
B.
Fungsi dan kedudukan akal dan wahyu...................................................... 5
C. Akal dan wahyu dalam pemikiran islam.................................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................................. 12
A.
Kesimpulan................................................................................................ 12
B.
Saran.......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk
yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang
melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat
terbatas. Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal
dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum.
Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu
dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah
satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan
dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga
dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
Agama mengajarkan
dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui
jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan
jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera
sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang
diperoleh melalui akal diyakini
sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun
Nasution, 1986: 1).
Di zaman
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan, pengetahuan mana
yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal, pengetahuan
melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya.
Karena itu, masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah
yang paling masyhur dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran
manusia, telah lebih dua ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal
bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang
terbatas. Oleh
karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak
tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya,
ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan
tersesat.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah
pengertian akal dan wahyu?
2.
Bagaimana
fungsi dan kedudukan akal dan wahyu?
3.
Bagaimanakah
akal dan wahyu dalam pemikiran Islam?
C.
Tujuan
Tujuan
disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan maqasid as-syari’ah atau
maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia, dua di
antaranya adalah mewujudkan terjaganya al-‘aql (intellect), dan keyakinan
(ad-din) (Fahim Khan, 1992: 73-74). Dalam
hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada
keimanan kepada Allah SWT.
D.
Manfaat
1.
Agar kita
dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu, fungsi dan kedudukan
Akal dan wahyu, serta akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
2.
Memperluas
wawasan pemikiran kita mengenai akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akal Dan Wahyu
1.
Akal
Akal
berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak
makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni
kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah
wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai,
mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir).
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun
bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang
dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai
oleh indera. Al-‘aql juga diartikan
al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut
pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan
praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan
demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan
diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql
mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi
disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam,
yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui
al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986:
7-8).
Pengaruh filsafat
Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa
(an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi
(796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat
tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya
berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya
berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di
kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh
pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang
ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan
tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga
memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal
merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta
perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22)
ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada
bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya,
maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di
dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa
al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat
tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja
memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di
dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb
tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak
berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam
bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian
akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang
terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan
dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar
diri manusia, yakni dari Allah SWT.
2.
Wahyu
Kata al-wahy yang
berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab adalah
kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahy
mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti
yang paling terkenal adalah “apa yang disampaikan Tuhan kepada
nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihanNya agar
diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup (Harun Nasution,
1992: 15)
Firman Allah itu mengandung petunjuk dan
pedoman yang memang diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia
dan di akhirat kelak. Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi
Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.
Wahyu
dalam arrti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya, misalnya:
Artinya:
“ sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah
memberikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada
ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub, dan anak cucuny, isa, ayyub,Yunus, Harun, dan
sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada Dawud”
Adapun cara
penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui tiga cara:
(1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir,
seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3) Melalui utusan yang dikirimkan
Tuhan dalam bentuk malaikat.
B.
Fungsi Dan Kedudukan Akal Dan Wahyu
Al-quran juga
memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian tugas
dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau wilayah
fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman
untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya
dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi
yang lain yaitu sebagai berikut:
1.
Akal sebagai
alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran
islam.
2.
Akal
merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui
maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.
Akal juga
berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan
Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat
manusia dalam bentuk ijtihat.
4.
Akal juga
berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya
dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan
bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir
pencapaian akal tetaplah relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya
koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan
nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat
dilihat dari point-point berikut:
1) Alloh subhanahu wa'ta'ala
hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal,
karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami
tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2) Akal merupakan syarat yang harus
ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu
wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak
mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah orang
gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh
sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا :
الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena
(catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan,
diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3)
Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya.
Misalnya celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang
tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk
[67]: 10)
Dan
Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti
syari'at dan petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan
Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa
yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.
002. Al Baqarah [2]: 170).
4) Penyebutan begitu banyak proses dan
aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul
dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun"
(mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun"
(apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an"
(apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.
5) Al-Qur'an banyak menggunakan
penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan
dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya". (QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu Telah
rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22
)
Artinya:"Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 )
6) Islam mencela taqlid yang membatasi
dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan
Alloh," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa
yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.
Al Baqarah [2]: 170)
Islam
memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti
kebenaran.
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan
orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali
kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
7) Alloh subhanahu wa'ta'ala
menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya pencipta ayat kauniyah
tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan akal) yang
dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu
wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang
Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah
berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat
dipahami sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung
(al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat
akurasinya berbeda karena disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya.
Kalau al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di
masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah
Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua
hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan
kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1.
Wahyu sebagai
dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada
al-quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
2.
Wahyu sebagai
landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan biala akal difungsikan untuk
memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng
oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun
menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan
oleh wahyu.
Kedudukan
wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera penglihatan
manusia.. Oleh
karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu
maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan
lebih tepat dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal
memiliki fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat
dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusian diciptakan oleh tuhan dengan
tujuan ang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk
mencapai tujuan tersebut manusia
dibekali akal dan wahyu.
C.
Akal Dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam
Telah
diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga
sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di
Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar
di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan
akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak
kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban
barat modern. Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan
peranan penting, bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang
agama itu sendiri. Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam
tidak semata-mata berpegang pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada
pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalah-masalah
keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam
bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun,
1986: 71)
1.
Fikih
Memulai
pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham
atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan
pemakaian akal.
Dengan
demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat
al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu
diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam
melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam
bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan
sumber-sumbernya.
2.
Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau
dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan, dalam
ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu.
Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan
pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta
kebaikan dan kejahatan.
3.
Falsafat
Sesuai
denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang wujud,
akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang
dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya
pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat
keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan
bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam
berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada
pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi,
filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara agama dan
falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa
wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya
berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan
antara agama dan falsafat.
4.
Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu
dalam pemikiran keagamaan Islam zaman klasik, yang terdapat dalam bidang fikih,
bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman klasik yang berakhir secara
resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam tidak
berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad
ke-sembilan belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia
barat mulai timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai
menonjolkan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam
sejarah pemikiran Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman
modern ini dapat dilihat dalam pemikiran Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini
hanya Al-Qur’an uang bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat
relatif, boleh diterima, boleh ditolak. Tetapi disamping itu ia punya
kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam pendapatnya adalah
agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu pendapat-pendapat
yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah pemahaman
ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama
yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Disamping itu akal dapat membuat hukum mengenai
hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Akal merupakan hidayah Allah yang
diberikan kepada menusia berfungsi sebagai alat untuk mencari kebenaran, akal
mampu merumuskan yang bersifat kognitif dan manajerial.
2. Wahyu merupakan firman Allah yang
berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Wahyu baik yang langsung (al-Qur’an)
maupun tidak langsung (al-Sunnah) sebagi sumber ajaran Islam
3. Akal dan wahyu dilihat secara
fungsional bukan struktural, akal berfungsi untuk memahami wahyu, dan wahyu
berfungsi untuk meluruskan kerja akal.
4. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai
kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan hanya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran
keagamaan Islam itu sendiri.
5. Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap
indera penglihatan manusia
B. Saran
Kami mengharapkan para pembaca bisa
mengambil pelajaran dari makalah kami ini, dan member kritikan dari setiap
kesalahan yang ada karena kami manusia biasa yang dhaif, dan jika ada benarnya
itu semata-mata dari Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan
Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI
Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto
dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta:
LPID UMS
Asy’arie, Musa. 1992. Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.
saran , tulisan jangan di buat terlalu lebay lebih bagus jika tulisan yang baku , & warna tulisan sama warna blog jangan terlalu kontras
BalasHapusIsi pembahasan sudah baik. Terus lanjutkan tulisannya
BalasHapus